Sikap Tidak Peduli
Dalam bukunya yang terkenal, Islam at the Crossroads, Muhammad Asad/Leopold Weiss mengingatkan umat Islam, bahwa: ”The Imitation – individually and socially – of the Western mode of life by Muslims is undoubtedly the greatest danger for the existence – or rather , the revival – of Islamic civilization.”
Jadi, kata Asad, penjiplakan kaum Muslim –baik secara individual maupun sosial – terhadap
Jadi, kata Asad, penjiplakan kaum Muslim –baik secara individual maupun sosial – terhadap
Lihatlah nilai-nilai peradaban Barat yang kini menyerbu rumah-rumah kita melalui media hiburan. Film-film, lagu, sinetron yang dijejalkan kepada generasi muda kita dipenuhi dengan urusan seputar syahwat jasadiah, baik menyangkut makanan maupun urusan seksual. Peradaban ini sangat mengagungkan unsur-unsur fisik. Jangan heran, jika dalam peradaban ini, wanita lebih dihargai karena unsur-unsur fisiknya. Kontes nyanyi dan loma kecantikan menjadi upacara yang sangat diagungkan, disiarkan ke seluruh penjuru dunia, tanpa peduli urusan moral.
Dalam kontes-kontes kecantikan seperti itu, setiap jengkal tubuh wanita diukur, ditelaah, dan dinilai untuk selanjutnya dipaparkan kepada publik. Bahwa si A memiliki tubuh terseksi di dunia. Media-media hiburan sibuk membuat ranking tentang wanita yang memiliki tubuh terindah. Bahkan, konon di suatu negara, ada majalah yang khusus menyajikan berita seputar alat kelamin wanita. Kata mereka, semua itu adalah ekspresi keindahan. Semua itu tidak ada hubungannya dengan pornografi, tetapi ekspresi seni.
Salah satu buah dari reformasi di
Dengan cara itu, mungkin mereka ingin membuktikan, bahwa ternyata wanita
Aneh! Inikah negara yang mayoritas penduduknya Muslim? Inikah negara yang menginginkan mendapat berkah dari Allah? Beginikah cara memajukan bangsa yang sedang terpuruk? Naif! Naif sekali! Akal yang sederhana pun tahu, bahwa bangsa ini akan bangkit jika rakyatnya mau belajar dan bekerja keras. Bangsa ini memerlukan pemimpin yang berani berpikir besar dan berani melakukan tindakan besar, bukan dengan mengirimkan wanita untuk mengumbar aurat di kontes ratu kecantikan.
Tokoh agama sudah teriak-teriak agar acara-acara yang menonjolkan unsur-unsur homoseksual dan lesbian dihentikan. Tetapi, protes itu pun dianggap angin lalu. Televisi tetap saja menayangkan tontonan seperti itu. Ulama sudah berteriak, hentikan tayangan judi via SMS. Tapi, TV pun tidak peduli. Jalan terus! Yang penting dapat untung!
Sikap tidak peduli itu pula yang kini banyak menjangkiti banyak kalangan akademisi yang sudah tergila-gila untuk mem-Barat-kan Islam. Mereka tidak mau peduli dengan segala macam kritik. Banyak yang menganggap ini masalah remeh. Tidak peduli! Buku-buku yang merusak pemikiran Islam terus diterbitkan. Meskipun sudah diketahui sebagai buku yang salah. Tidak peduli!
Meskipun sudah berulangkali kita paparkan bahaya pemikiran liberal
Jika sikap tidak peduli semacam itu sudah mejangkiti para elite negeri ini, baik kalangan pemerintah maupun akademisi, apalagi yang bisa kita harapkan? Jika suami tidak peduli lagi apa yang dilakukan istrinya, apakah pantas dia disebut suami? Jika pemimpin negara tidak peduli dengan perilaku rakyatnya, apakah pantas dia disebut pemimpin negara? Jika guru tidak peduli dengan perilaku siswanya, apakah pantas dia disebut sebagai guru? Jika cendekiawan dan ulama sudah tidak peduli dengan perilaku umatnya, apakah pantas dia disebut cendekiawan atau ulama?
Dalam tradisi peradaban Barat, seseorang dibiasakan untuk tidak peduli dengan kemunkaran dalam soal aqidah dan pemikiran. Mereka hanya peduli dalam soal-soal yang fisik, karena Barat memang peradaban yang sangat memuja materi. Mereka tidak peduli dengan urusan agama. Mereka sangat peduli dengan urusan korupsi dan kerusakan lingkungan, tetapi tidak peduli apakah seseorang beriman atau kufur, apakah seorang berdosa atau tidak. Mereka tidak peduli dengan semua itu! Yang penting masyarakat menjalankan ketertiban atau tidak. Itu yang mereka peduli.
Karakter masyarakat seperti itu tentu berbeda dengan masyarakat Islam. Sebab, dalam pandangan Islam, urusan terpenting dalam kehidupan adalah masalah keimanan. Maka, tugas pemimpin negara – disamping menyejahterakan kehidupan rakyatnya – juga melindungi aqidah masyarakat. Karena itu, dalam pandangan Islam, tugas utama seorang pemimpin Islam justru melindungi dan menegakkan Tauhid. Sebab, inilah tugas utama para nabi. Kita sudah sering membahas, bagaimana azab Allah akan turun ketika umat Islam melalaikan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.
Dalam kaitan soal kepedulian inilah, maka Allah pun sudah mengingatkan agar kita senantiasa menegakkan iman dan mengembangkan sikap kritis terhadap kaum Muslim dan terutama kepada para pemimpinnya. Kita sangat prihatin dengan masih adanya gejala kultus di antara sebagian kalangan Muslim terhadap tokoh dan pemimpinnya. Mereka tidak peduli, apakah pemimpinnya itu keliru atau tidak. Bahkan, mereka sudah meletakkan nasibnya di dunia dan akhirat kepada sang pemimpin. Padahal, pemimpin itu bukan nabi, dan mungkin saja keliru dalam pemikiran dan kebijakan yang diambilnya.
Karena sikap kultus itu sudah begitu membudaya, sampai-sampai ada yang marah-marah jika pemimpinnya dikritik. Ada yang marah karena Amin Rais dikritik; ada pula yang tidak terima ketika Nurcholish Madjid dikritisi pemikirannya; dan ada yang tidak terima jika Abdurrahman Wahid dikritik. Tidak sedikit yang menjadi fanatik kepada seorang tokoh atau kelompoknya melebihi fanatiknya kepada Islam itu sendiri, sehingga dia sangat marah ketika kelompok atau pemimpinnya dikritik. Meskipun sang pemimpin jelas-jelas salah, dia tidak mau mengritiknya dan berusaha keras menutupinya, supaya pemimpin dan kelompoknya tidak jatuh martabat.
Sikap kultus seperti ini tidak mendidik masyarakat. Rasulullah saw sama sekali tidak mencontohkan sikap semacam itu. Berkembangnya tradisi ilmu senantiasa diikuti dengan budaya kritis di tengah masyarakat, meskipun sikap kritis itu tetap berpijak kepada adab. Budaya kultus dan taqlid yang membabi buta justru bukan hanya merugikan masyarakat, tetapi juga akan merugikan sang pemimpin sendiri.
Pada tahun 2008 ini, misalnya, terbit sebuah buku berjudul ”99 Keistimewaan Gus Dur.” Dalam kata pengantarnya untuk buku ini, Muhaimin Iskandar menulis, bahwa :
”Sebagai pemimpin, Gus Dur mampu mengawal, mendampingi dan mengayomi masyarakatnya menuju proses pembentukan kemandirian dan kehidupan yang demokratis.” Masih menurut Muhaimin, ”Gus Dur merupakan bagian dari kekayaan yang dimiliki bangsa ini yang patut diteladani oleh siapa pun yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap persoalan-persoalan umat.”
Tentu saja, kata pengantar Muhaimin itu dibuat sebelum dia dipecat oleh Abdurrahman Wahid sebagai ketua umum PKB. Pujian setinggi langit juga diberikan oleh Prof. Dr. KH Said Aqiel Siradj, M.A, dalam pengantarnya untuk buku ini. Aqiel mengisahkan, bahwa :
Gus Dur mampu mengenali seorang waliyullah. Suatu ketika, Gus Dur menemui seorang yang penampilannya sangat sederhana layaknya seorang ”gembel”. Ternyata, menurut Aqiel Siraj, yang ditemui Gus Dur itu adalah seorang wali yang sedang menyamar. Begitu ketemu, Gus Dur minta didoakan oleh orang tersebut. Aqiel menulis: ”Rupanya, Gus Durlah yang berhasil menyingkap sosok waliyullah tersebut. Sementara kewalian itu hanya diketahui oleh diri sendiri dan Allah.”
Jadi, dengan cerita itu, apakah berarti Abdurrahman Wahid adalah seorang waliyullah? Wallahu a’lam. Hanya Allah yang tahu.
Salah satu dari 99 keistimewaan Abdurrahman Wahid yang disebutkan dalam buku ini adalah kegigihannya dalam membela kaum tertindas. Contoh kaum tertindas yang dibela Abdurrahman Wahid adalah Ahmad Dani, Inul Daratista, kelompok Ahmadiyah, Tabloid Monitor, dan sejenisnya.
Kita bisa bersikap kritis terhadap posisi Abdurrahman Wahid dalam soal-soal tersebut. Benarkah Inul merupakan seorang wanita yang tertindas? Benarkah Ahmad Dhani termasuk kaum yang tertindas? Dan sebagainya. Jika Inul dikatakan sebagai makhluk tertindas, bagaimana dengan ribuan ibu-ibu dan anak-anak yang ditindas oleh berbagai tayangan TV yang merusak moral? Mereka tertidas, dan mereka tidak berdaya. Inul justru bergelimang harta dan dibela habis-habisan oleh kekuatan industri hiburan yang sangat fasis. Kita pun bisa bertanya, dimana posisi Abdurrahman Wahid dalam kasus penindasan rakyat Palestina, di posisi Israel atau rakyat Palestina? Mengapa dia lebih memilih bersahabat dengan Shimon Peres?
Kita maklum, bahwa para pendukung seorang tokoh kadangkala membuat pemaparan yang mengagungkan sang tokoh. Ketokohan Abdurrahman Wahid tidaklah diragukan. Banyak keistimewaan dimilikinya. Karena itulah, ketika akan mendeklarasikan Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), para kyai senior di NU pun seperti merasa perlu menerbitkan sebuah buku kecil berjudul ”9 Alasan Mengapa Kiai-kiai tidak (lagi) bersama Gus Dur.”
Kita tunggu saja akhir dari semua ”permainan” semacam ini. Kita yakin, Allah Maha Tahu apa yang sebenarnya terjadi. Allah tahu siapa yang benar dan siapa yang dusta. Pasti akan ada balasan untuk masing-masing. Para tokoh itu akan mempartanggungjawabkan perbuatannya sendiri kepada Allah SWT. Kita pun demikian. Di akhirat nanti, mereka akan berlepas tangan, dan tidak mau menanggung dosa-dosa kita.
Yang penting, kita tetap diwajibkan berdakwah dan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. Mudah-mudahan, kita tidak termasuk golongan orang-orang yang tidak tahu dan tidak peduli dengan berbagai persoalan umat. Sebab, kata Rasulullah saw, barangsiapa yang bangun pagi dan tidak peduli dengan urusan umat, maka dia bukan bagian dari umat Islam. Wallahu a’lam.
Dicopy dari SwaraMuslim/saya sangat tertarik sekali dengan artikel ini, mengingat betapa kacaunya keadaan bangsa kita saat ini.
0 comments:
Post a Comment